Tidak lama setelah Islam meluas keseluruh apa yang lazim disebut "Orient”,
bangsa Arab, dengan bertolak dari nilai-nilai budaya Yunani, mengembangkan seni
dan ilmu pengetahuan sedemikian rupa, sehingga bangsa Arab ketika itu dapat
dianggap sebagai bangsa yang paling beradab di dunia. Di zaman kekuasaan Harun
al-Rasyid (768-809 M) kota Baghdad menjadi pusat dari kebudayaan Islam. Sekitar
tahun 800, Harun al-Rasyid menugaskan tiga ratus ilmuan untuk mengumpulkan
naskah-naskah ilmiah Yunani. Kemudian setelah itu, al-Makmun, putra Harun
al-Rasyid, mendirikan "Bait al-Hikmah” serta menugaskan para ilmuan dan
seniman terkenal untuk menerjemahkan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab.
Dalam bidang musik, menurut Farmer, beberapa tulisan dari tokoh-tokoh Yunani
seperti Aristoxenos, Euklid, Ptolomeus, Nikomachus, dan Aristides Quintilianus
telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Arab. Tidak diketahui apakah
tulisan-tulisan ini masih ada, namun dapat dipastikan bahwa hampir semua
ahli-ahli teori musik Arab abad pertengahan menguasai teori musik Yunani, dan
dalam karya-karya mereka dipaparkan "sistema ametabolon”, ketiga ragam
(Geschlechter) "enharmonikon, "chromatikon”, dan "diatonon”,
demikian pula berbagai pembagian "tetrachord” yang berasal dari tradisi
musik Yunani.
Kendati demikian, dalam teori musik Arab terdapat pembagian-pembagian
tetrachord yang tidak terdapat pada teori musik Yunani. Maka dapat disimpulkan
bahwa ahli-ahli teori musik Arab tidak hanya mengambil alih teori musik Yunani,
tapi juga mengembangkan teori musik tersebut menurut kebutuhan mereka sendiri.
Perbedaan lain yang menonjol adalah kenyataan bahwa bangsa Yunani memaparkan
sistem nadanya pada Monochord, sementara bangsa Arab melakukan hal yang sama
pada alat musik ‘Ud. Terkecuali Safi al-Din, selain memaparkan sistem 17
nadanya dalam "al-Risala al-Sarafiyya” pada ‘Ud, ia juga memaparkan sistem
17 nada tersebut dengan Monochord dalam "Kitab al-Adwar”.
Dari daftar para ahli teori musik yang tercantum dalam lampiran di bawah ini,
secara singkat dapat dikemukakan bahwa sistem nada dari al-Maushili, Yahya ibn
‘Ali, Ikhwan al-Shafa, al-Kindi dan Safi al-Din,[1] seluruhnya
didasarkan pada apa yang disebut sistem Pythagoras.[2] Berbeda dari para
ahli teori musik tersebut, al-Farabi dan Ibnu Sina, disamping menggunakan
nada-nada Pythagoras, ternyata memakai nada-nada lain yang tidak terdapat pada
teori musik Yunani. Secara singkat, dapat dikemukakan bahwa tangganada dari
al-Maushili, Yahya ibn ‘Ali dan Ikhwan al-Shafa (ketiganya adalah sama) seperti
nampak pada contoh A, tangganada dari al-Kindi dan Safi al-Din adalah seperti
nampak pada contoh B dan C, sedangkan tangganada dari al-Farabi dan Ibnu Sina
seperti pada contoh D dan E.
[A] c d es e f g as a bes c
[B] c des d es e f ges g as a b c
[C] c des es2 d es fes e f ges as2 g as bes2 a bes ces des2 c
[D] c d (27/22) f g (18/11) bes c
[E] c d (13/12) f g (39/32) bes c
Seperti kita lihat di atas, tangga nada dari al-Maushili, Yahya ibn ‘Ali dan
Ikhwan al-Shafa terdiri dari 9 nada, tangga nada dari al-Kindi terdiri dari 12
nada (!) dan tangga nada dari Safi al-Din terdiri dari 17 nada. Sedangkan
tangganada dari al-Farabi dan Ibnu Sina dikemukakan hanya dalam maqam
"Rast” saja untuk menunjukkan bahwa kedua ahli teori musik ini, di samping
menggunakan nada-nada Pythagoras, juga memakai nada-nada lain, yang di atas
dinyatakan dengan memberikan perbandingan frekwensi dari nada-nada tersebut;
al-Farabi 27/22 dan 18/11 dan Ibnu Sina 32/12 dan 39/32 untuk terz dan sext.
Perlu digarisbawahi bahwa al-Kindi, sudah sejak abad ke-IX telah memperkenalkan
apa yang dewasa ini disebut sebagai tangga nada "chromatis”,[3] sementara di
Barat-Eropa sendiri, pembagian nada penuh (ganston) itu dalam dua setengah nada
baru dilakukan oleh Johan de Garlandia untuk pertama kalinya sekitar tahun 1300
(!). Malahan Safi al-Din sudah memakai 17 nada dalam satu oktav, yang dalam
perkembangannya kemudian dilanjutkan oleh Yekta Bey, Suphi Ezgi, Uzdilek, Ezgi dan
Barkechli sampai menjadi 24, 29, 41 dan 53 nada dalam satu oktav. Namun
demikian, semua tangga nada dari para teoretikus ini didasarkan pada sistem
Pythagoras. Berlainan dengan tokoh-tokoh tersebut, al-Farabi dan Ibnu Sina,
seperti telah dikemukakan di atas, memakai juga nada-nada di luar sistem
Pythagoras. Hal inilah yang menunjukkan ciri khas musik Arab.
Syahdan, seorang pemain ‘Ud kaliber atas (meninggal pada tahun 791) menentukan
dalam maqam Rast pemakaian suatu "fret” yang kemudian disebut fret dari
Zalzal (Wosta dari Zalzal) yang perbandingannya dengan nada dasar (mutlak)
27/22. Adalah sebuah tindakan bersejarah dari al-Farabi yang menghidupkan terz
dan sext dari Zalzal tersebut dalam teori musiknya. Maqam Rast tersebut dalam
bentuknya yang sederhana (dalam hal ini disebut juga ‘Ussaq) adalah sebagai
berikut; c-d-e-f-g-a-bes-c, jadi sama dengan modus Micolydis dari tangganada
gereja. Sesudah Zalzal orang menginginkan terz dan sext yang lain, sehingga
rast tersebut sebenarnya tidak dapat dipraktekkan dalam tanggganada dari
al-Maushili, Yahya ibn ‘Ali dan Ikhwan al-Shafa. Seperti kita lihat di atas,
maqam Rast tersebut pada al-Farabi adalah; c-d-27/22-f-g-18/11-bes-c, sementara
pada Ibnu Sina; c-d-13/12-f-g-39/32-bes-c. Maqam Rast tersebut pada al-Farabi
dan Ibnu Sina dapat dikatakan berdekatan, sedangkan pada Safi al-Din sudah jauh
berbeda. Terz dan sext tersebut bila dinyatakan dengan "cent” pada
al-Farabi 355 dan 853, pada Ibnu Sina 342 dan 840, maka kedua interval tersebut
pada Safi al-Din menjadi 384 dan 882. Dengan demikian, pada abad pertengahan
terdapat dua aliran; sistem al-Farabi/Ibnu Sina dan sistem Safi al-Din.
Kenyataan ini menimbulkan konsekwensi tersendiri dalam perkembangan teori musik
Arab dewasa ini.
Sistem dari al-Farabi dan Ibnu Sina bila dicarikan kompromi dalam alat musik
yang memiliki nada-nada tetap (seperti qanun, santur, dan piano) otomatis
menimbulkan apa yang disebut seperempat nada, sehingga dalam satu oktav
terdapat 24 nada.[4] Jadi apabila para
teoretikus musik dari Turki dan Iran memegang teguh pada pembagian oktav dalam
17 nada, maka itu tidak lain bahwa mereka berpegang teguh pada sistem nada Safi
al-Din. Sedangkan bila ahli-ahli teori musik dari Mesir dan Siria tidak
berkeberatan mengaplikasikan pembagian oktav dalam 24 nada, maka itu berarti
mereka berpegang pada sistem nada al-Farabi/Ibnu Sina.
Dalam konteks pembicaraan mengenai musik Arab, ada baiknya dikemukakan bahwa
jauh sebelum timbulnya agama Islam, bangsa Arab telah memiliki tradisi musik
tersendiri. Kendati demikian, tidak dapat dinafikan bahwa teori musik maupun
prakteknya dalam sejarah bangsa Arab baru mencapai puncak perkembangannya
setelah agama Islam mengepakkan sayapnya ke seluruh apa yang biasa disebut
sebagai "Orient”, bahkan sampai ke semenajung Iberia dan negeri Andalusia.
Poin lain yang perlu diperhatikan adalah, bahwa sejak kemunculan Islam (bahkan
sampai saat ini), selalu ada pemuka-pemuka agama yang merestui pemakaian musik
dalam ibadah, tapi ada pula yang secara terang-terangan melarangnya. Fakta ini
sebenarnya cukup dramatis, oleh karena di dalam al-Qur’an maupun dalam Hadits
tidak terdapat penjelasan spesifik yang melarang ataupun yang menganjurkan penggunaan
musik dalam ibadah. Namun terlepas dari polemik pro dan kontra tersebut, musik
Arab ternyata terus berkembang, termasuk musik yang dikategorikan sebagai musik
religius.
Dalam keterangan sebelumnya, telah disinggung bahwa pada zaman Harun al-Rasyid
kota Baghdad merupakan pusat dari aktifitas kebudayaan Islam. Di istana Harun
al-Rasyid sendiri bertugas seorang seniman musik kenamaan, yaitu Ishaq
al-Maushili. Dia mempunyai seorang murid yang berbakat, yaitu Ziryab. Karena
bakat sang murid ini begitu menonjol, al-Maushili khawatir sang murid akan
menggusur posisinya. Maka al-Maushili menyarankan agar Ziryab meninggalkan
Baghdad. Untuk menghindari permasalahan dengan gurunya, maka Ziryab pergi ke
Cordova dan mendirikan sekolah musik di sana, sehingga di Cordova musik Arab
pun mengalami perkembangan.
Musik Arab menampakkan diri sebagai musik vokal dan instrumental maupun paduan
dari keduanya; sebagai musik profan maupun musik religius. Tapi satu
karakteristik dari semua ekspresi musik Arab adalah bahwa semua ragam dari
musik Arab didasarkan pada prinsip maqam, yaitu sistem pemakaian berbagai
modus.
Sebagai contoh dari musik profan dapat dikemukakan dua bentuk musik vokal
dengan iringan alat musik, yaitu "al-Maqam al-‘Iraqi” dan "Andalusia
Nuba”. Yang pertama, seperti nampak pada namanya, berasal dari Baghdad,
sedangkan yang kedua berasal dari Andalusia (Cordova). Ketika bangsa Arab harus
meninggalkan semenajung Spanyol, "Andalusia Nuba” ini kemudian tersebar di
Maroko, Algeria, Tunisia, dan Libia. Bentuk-bentuk musik lain yang bersifat
profan antara lain muwassah (di bagian Timur semenanjung Arab), dor (Mesir),
nyayian fgiri (Musik penangkap ikan di sekitar teluk Arab), qasida (juga
dikenal di Indonesia), layali dan mawal. Sedangkan bentuk musik instrumental yang
dapat diidentifikasi antara lain; taqsim dan samai, di mana si pemain musik
menunjukkan keterampilannya, baik dalam mengembangkan maqam, maupun dalam
permainan alat musik.
Adapun bentuk musik religius dapat disebut sebagai nyanyi-nyanyian, baik yang
merupakan pembacaan al-Qur’an maupun nyanyian-nyanyian yang berkaitan dengan
perayaan Islam. Namun demikian, perlu dikemukakan bahwa orang Arab sendiri
(atau orang Islam) tidak menyebut yang demikian itu sebagai nyanyian. Al-Qur’an
misalnya, di samping dapat dibacakan saja, dapat pula dibawakan dalam bentuk
nyanyian dengan memenuhi semua syarat-syarat musikal (seperti pemakaian maqam
dll.) yang diperlukan oleh musik. Namun orang yang membawakan al-Qur’an dengan
gaya yang disebut terakhir ini ternyata tidak disebut sebagai penyanyi
(mughanni), tetapi sebagai pembaca (muqri’). Bentuk musik religius lain yang
dapat disebutkan adalah azan, yang diucapkan dari minaret, dan acap
mengembangkan suatu maqam tertentu secara memesona dan mengagumkan. Selain itu,
terdapat "madih al-nabawi”, yaitu suatu bentuk nyanyian yang merupakan
pujian kepada Nabi dan keluarganya. Yanyian yang berkaitan dengan kelahiran
Nabi (maulid) dapat dikategorikan sebagai madih nabawi.
Deskripsi di atas hanya menyinggung sekelumit dari aspek musik Arab.
Bagaimanapun, pembahasan mengenai musik Arab tidak mungkin dapat secara tuntas
dibicarakan dalam satu ceramah. Kendati demikian, beberapa segi yang telah
dikemukakan di atas mudah-mudahan dapat menggerakkan hati kita untuk secara
serius memperdalam pengetahuan kita mengenai musik Arab serta melihat
kemungkinan untuk menekuni musiknya secara praktis. Kita dari dunia ketiga yang
terbiasa memandang Eropa sebagai individu dan bangsa yang superior, sebetulnya
sedikit banyak dapat merasa bangga, setelah mengetahui, bahwa bangsa Arab,
sebagai representasi dari bangsa non-Eropa (baca; Orient), pernah lebih maju
secara kultural ketimbang bangsa Eropa.
1. Abd al-Qadir,
Anonymus dan al-Ladiqi hanya melakukan komentar pada sistem dari Safi al-Din,
sedangkan Mihail Misaqa, seorang ahli teori musik zaman baru, memaparkan sistem
seperempat nada atau sistem 24 nada.
2. Dalam sistem nada
Pythagorean, perbandingan nada-nada hanya memakai proporsi dari angka dua dan
tiga.
3. Tangga nada
"chromatis” adalah tangga nada yang memiliki rangkaian 12 nada dalam satu
oktav.
4. Sebuah sistem nada
yang dikemukakan oleh Misaqa. Lihat catatan kaki sebelumnya.
No comments:
Post a Comment